Thursday, July 22, 2010

Sejarah lembaga tattoo JTCI

KARYA seni yang dianggap paling tua dan original, Tattoo, mulai mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Seniman Tattoo bermunculan di hampir semua tempat, terutama di daerah wisata yang populasi anak-anak muda serta wisatawan relatif banyak, seperti Yogyakarta, Bali, Lombok, Jakarta, dan sejumlah kota lain.Sayang, belum semua seniman Tattoo bisa mengambil sikap profesional. Masih banyak di antara mereka ''bekerja'' dengan Tattoo dan bukan ''berkarya''. Tak urung, hasilnya pun ada kesan asal-asalan. Sebab, hanya uang yang mereka kedepankan dan bukan kualitas berkesenian.

Sikap profesional bukan cuma ditunjukkan oleh hasil, melainkan juga proses. Pada beberapa seniman Tattoo, kesehatan menjadi nomor buntut dan yang penting Tattoo cepat selesai lalu kantong pun terisi. Padahal, Tattoo sangat erat berkaitan dengan kesehatan.''Bagaimana tak erat? Soalnya kami berkarya dengan 'melukai' tubuh seseorang,'' ungkap Ketua Java Tattoo Club Indonesia (JTCI) Sapto Rahardjo alias Athonk di sela-sela peresmian website javatattooclub@tattoos. com, www.geocities.com/javatattooclub di Kebond Resto Yogyakarta, baru-baru ini.

Keprihatinan pada kondisi tersebut menggerakkan sejumlah seniman Tattoo untuk membuat sebuah lembaga. Lalu terbentuklah JTCI. Klub ini tidak semata-mata mengurusi soal seni, tetapi ada yang lebih dari itu. yakni melakukan proses penyadaran pada para seniman Tattoo dan juga mereka yang ingin memperindah tubuh dengan lukisan Tattoo.''Tattoo akan menempel di kulit seumur hidup. Jadi, sebelum menentukan sikap untuk diTattoo pertimbangkan masak-masak mengenai lokasi yang mau diTattoo serta dampak sosialnya,'' ujar Athonk.Dia mencoba realistis - meskipun sudah mulai berubah - masih ada pandangan negatif tentang Tattoo. Karena itu, pertimbangan perlu dilakukan secara matang agar tak terjadi misalnya, seorang berTattoo di lokasi tidak pas akan bermasalah ketika mencari pekerjaan. Kesehatan

Pertimbangan lain yang juga perlu dan penting dipikirkan, menurut pandangan Divisi Informasi dan Kesehatan JTCI Sahrul Syah, prosedur Tattoo serta perawatannya. Aktivis LSM Spiritia yang mengurusi persoalan HIV/AIDS tersebut mengungkapkan, banyak hal yang perlu diperhatikan dari sisi kesehatan ketika seseorang ingin diTattoo.''Cari studio Tattoo yang bersih. Pastikan penato memakai jarum baru tiap kali habis menato atau paling tidak harus steril. Lihat proses ketika seniman menato seseorang.''Tidak cukup itu, perhatikan juga pemakaian sarung tangan karet dan wadah tinta baru untuk setiap klien. Dia juga minta klien memperhatikan saat seniman membuka peralatan steril. Beberapa hal tersebut seharusnya benar-benar diperhatikan. Jika tidak, kemungkinan muncul kerawanan tertular penyakit, seperti hepatitis C, B, dan HIV.Karena itu, Sahrul dan teman-teman di JTCI selalu mengampanyekan seni Tattoo sehat. Dia mencontohkan di Jakarta Selatan, ratusan seniman Tattoo sudah mulai menggunakan prosedur sehat dalam berkarya. Kampanye akan terus dilakukan di seluruh daerah.

''Tattoo yang dibuat dengan tingkat kesehatan tinggi, hasilnya lain dengan mereka yang asal Tattoo. Lebih halus, tahan lama, dan tentu lebih indah,'' ujar Athonk yang selama ini menjadi seniman Tattoo di AS, Australia, dan Hawai. Salah seorang klien yang mendapat Tattoo secara sehat, Rene Jeanmaire ( lihat gambar diatas ). Laki-laki asal Perancis berusia 70 tahun dan sudah menetapkan pilihan hidup di Indonesia ini pernah mendapat piala sebagai The Best Tattoo dalam kontes Tattoo dunia di Paris pada 2000. Di Yogya pun dia juga mendapat penghargaan serupa.Seluruh tubuhnya penuh Tattoo, kecuali wajah. Bahkan, miliknya yang sangat pribadi - kemaluan - juga diTattoo. Dia hanya tertawa ketika menjawab pertanyaan, mengapa yang satu itu juga diTattoo.

''Ha..ha..ha..., nggak ada apa-apa. Saya memang suka Tattoo sejak kecil. Seni Tattoo kalau dilakukan secara benar hasilnya sangat indah,'' ujar Rene sambil menunjukkan seluruh tubuhnya yang penuh Tattoo. Ada yang berwarna, ada pula yang polos. Di usia yang tak lagi muda - untuk tidak mengatakan tua, sebab fisik dan semangatnya kelihatan jauh lebih muda - Rene masih ingin diTattoo. Namun, dia bingung harus ditempatkan di mana lagi. Ada sisa tempat di wajah, tapi dia tak mau Tattoo di sana. Ketika kali pertama diTattoo, dia harus menghadapi pandangan sinis masyarakat. Kenekatannya ''memerangi'' citra negatif, dia lampiaskan dengan menghiasi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan pandangan masyarakat mulai berubah, begitu pula di Indonesia. ''Kecuali menghapus kesan buruk, kami juga seharusnya melakukan upaya kampanye Tattoo sehat terus menerus. Sebab, risiko tertular penyakit lewat cara Tattoo yang tidak sehat sangat besar dan berbahaya,'' papar Sahrul. Ternyata berkesenian pun perlu memperhatikan sisi kesehatan yang selama ini dianggap angin lalu oleh seniman. Apabila aspek itu dipenuhi, bukan tidak mungkin makin banyak orang ingin memperindah tubuh dengan Tattoo sambil berkata, ''Siapa takut?''

No comments:

Post a Comment